Biodiesel: Solusi atau Problem?

2 Februari, 2007 at 18:12 5 komentar


Pemerintah sedang gembar-gembor untuk memakai biodiesel dimana diharapkan dengan solusi ini maka penggunaan solar dapat dikurangi karena adanya campuran dengan solar yang merupakan hasil proses dari minyak kepala sawit, jagung, kedelai, jarak, tebu, singkong dll.

Manusia secara bergenerasi telah bercocok tanam untuk kebutuhan makan sehari-hari. Sekarang pun kita masih dapat melihat adanya kekurangan pangan dari negara kita. Kita masih belum bisa berswasembada pangan. Dengan adanya pertumbuhan dari kedua pihak antara populasi manusia dan mobil, kalau kita akan menggunakan bahan makanan yang kira perlukan itu untuk menjadi energi, apakah kita ingin memberi makan untuk orang atau mobil?

Tidak akan ada lahan, air ataupun tanah produktif yang cukup untuk dapat menggantikan seluruh kebutuhan energi kita. Produksi dari biodiesel itu sendiri pun menggunakan banyak sekali lahan dan energi. Produksi lahan tanaman seperti kelapa sawit atau jarak akan memerlukan pupuk yang dibuat dari hasil gas alam, pestisida yang juga merupakan turunan dari minyak, input dari energi lainnya seperti bahan bakar untuk traktor, truk pengangkut, dan pabrik penyulingannya. Selain itu, lahan tersebut juga akan memerlukan air dan harus mengurangi daya kesuburan tanah.

Bila kita lihat energi yang digunakan, maka biodiesel akan memakai energi yang lebih banyak dalam tahap produksinya dibandingkan dengan minyak bumi biasa, dari sumur explorasi sampai dipakai di mobil.

Dengan adanya kompetisi antara kebutuhan makan manusia dan energi, maka dengan menipisnya supply dan tingginya demand akan menaikkan harga komoditi tersebut sehingga pada akhir dari rantai tersebut maka produk akhir yang dijual kepada pelanggan pun akan lebih mahal. Contohnya, bila harga minyak kelapa sawit naik, karena minyak kelapa sawit adalah bahan dasar untuk pembuatan dari es krim, biskuit, mentega, minyak goreng hingga sabun dan shampoo, maka dapat dibayangkan konsekuensi naiknya harga CPO kepada seluruh inflasi dan ekonomi kita.

Para pengusaha pun dengan adanya kenaikan harga akan menjadi insentif mereka untuk menanam lebih banyak lagi. Dan bila hutan heterogen kita yang penuh dengan tanaman berguna serta binatang yang bergantung pada ekosistem tersebut, akan musnah dengan adanya hutan homogen dari perkebunan besar itu. Akhirnya adalah musnahnya spesies tanaman dan binatang yang penting untuk keseimbangan alam kita.

Solusi yang paling baik tetap untuk mencari solusi terbaik energi alternatif yang terbarukan dari air/ombak, angin dan sinar matahari.

Entry filed under: Energi Alternatif, Fakta Lingkungan, Manifesto Hijau.

Eco-Driving. Perlu dilakukan semua pengendara mobil Raket Nyamuk. Sehat, bersih, dan lebih puas

5 Komentar Add your own

  • 1. InfoEnergi  |  16 April, 2007 pukul 15:38

    Kesadaran masyarakat terhadap arti penting lingkungan dan kemandirian bangsa masih sangat memprihatinkan. Pemerintah dan sebagaian (besar) masyarakat masih sering terbuai oleh iming-iming keuntungan ekonomi jangka pendek tanpa melihat konsekuensi serius yang diakibatkannya. Artikel serupa juga bisa dibaca di infoenergi.wordpress.com.

  • 2. khuzaenudin  |  19 November, 2007 pukul 19:49

    wah gimana ya semua suka gitu.untung gede malah buntung akhirnya.kta terus dukung energi alternatif terbarukan.tapi kayak nya susah deh.biar semua kena dampak .!setelah itu kan baru tau dan sadar.kalau belum susah
    eh mas mas yang pinter pinter kasih penyuluhan penyuluhan di sekolah sekolah didesa dmna aj.kaya dijepang anak2 udah dikasih tau cinta ling kungan. biar yang tuataua yang bandel bandelkan ntar lagi mati gak apa apa.yang penting yang muda.

  • 3. dodolipet  |  20 November, 2007 pukul 21:09

    betul khuzaenudin. yang penting untuk yang muda. tapi jangan sampe semua kena dampak dulu dong… itu mah yang rugi rame-rame. mendingan kita sama-sama melakukan pencegahan dan berusaha sekuat mungkin untuk bisa memberikan pengarahan pada teman dan saudara kita untuk ikut melestarikan lingkungan. kalo sudah sampai parah jadi makin susah kan. untuk penyuluhan di sekolah bisa oleh siapa saja, bahan boleh diambil dari blog ini tanpa masalah. 🙂 tx.

  • 4. richa  |  22 Februari, 2008 pukul 21:17

    kita tetap harus mendukung pengurangan bahan bahan yang diperoleh dari fosil kakek nenek kita. dengan menggunakan BBM non fosil akan terjadi pengurangan pengangguran (ini klo bapak ibu yang nongkrong di KURSI DPR mang peduli?tapi keknya gak bakal!!!!!!!!!!!!!!!). akan tetapi pemerintah harus tetap memperhatkan agar jangan sampai terjadi perluasan hutan. jadi biarkan rakyat yang mengolah lahan. pihak2 yang bermodal gede cukup jadi penanam modal aja, jangan di pembakar hutan.
    dan ada baikknya sosialisasi petani harus di galakkan lagi, sehingga pemuda/i yang masih nganggur ato menuh menuhi jakarta bisa pulang. mang komentar ini salah kirim. pemrintah gak akan baca dan pihak terkait hanya akan menjadikan komentar2 kita ini sebagai bahan unutk mengumbarjanji besok. besok nek wis kepilih lali ….. pad AMMNESIA SMUA
    TERIMAKASIH

  • 5. rira  |  29 Oktober, 2008 pukul 04:53

    sebetulnya saya juga masih belum bisa berpendapat mendukung atau tidak terhadap pengembangan biodiesel. Pada faktanya kita memang butuh itu jika cadangan energi fosil sungguh sangat terbatas.

    Energi itu terbagi dua berdasar karakternya, yaitu untuk listrik dan bahan bakar. Untuk listrik mungkin saja kita pakai tenaga angin, geotermal, miko/pikohidro, ombak dll. Tapi untuk bahan bakar kan lain kebutuhannya. Yang paling ideal adalah menggunakan fuel cell/ berbahan bakar hidrogen. Namun membutuhkan penggantian mesin total pada kendaraan yang ada saat ini. Butuh waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk mengganti seluruh kendaraan menjadi berbahan bakar hidrogen, penelitiannya pun masih terus berjalan. Di sinilah biodiesel berperan, ia menjadi bahan bakar transisi yang menggantikan langsung BBM untuk kendaraan (karena dapat digunakan bahkan tanpa harus memodifikasi mesin kendaraan), sambil dilakukan transisi bertahap kepada penggunaan bahan bakar hidrogen.

    Yang jadi masalah, pengembangan biodiesel ternyata tarik-tarikan dengan penggunaan minyak pangan (e.g. sawit), bahkan konversi lahan pangan, dan juga seperti di atas memakan lebih banyak energi dalam produksinya, jadi gimana ya?

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


Agenda

Archives

RSS Bisnishijau.Org

  • Sebuah galat telah terjadi; umpan tersebut kemungkinan sedang anjlok. Coba lagi nanti.

Kampanye Hijau











Statistik Pengunjung

  • 2.475.014 Pengunjung

Statistik

Enter your email address to subscribe to this blog and receive notifications of new posts by email.

Bergabung dengan 318 pelanggan lain