“Green Building” untuk Iklim Mikro, Bangunan Ramah Lingkungan Syaratkan Efisiensi

25 Agustus, 2007 at 23:25 37 komentar

Koran Kompas
25 Agustus 2007
Sumber: Kompas Online

Gedung HijauKonsep green building atau bangunan ramah lingkungan didorong menjadi tren dunia bagi pengembangan properti saat ini. Bangunan ramah lingkungan ini punya kontribusi menahan laju pemanasan global dengan membenahi iklim mikro.

“Poin terbesar dalam konsep ini adalah penghematan air dan energi serta penggunaan energi terbarukan,” kata Rana Yusuf Nasir dari Ikatan Ahli Fisika Bangunan Indonesia (IAFBI), sebagai salah satu pembicara dalam diskusi panel “Pemanasan Global-Apa yang Dapat Dilakukan Dunia Properti?”, Jumat (24/8) di Jakarta.

Menurut Rana, di Indonesia akses energi terbarukan masih lemah. Suplai energi listrik untuk properti hanya mengandalkan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang belum menggunakan sumber energi terbarukan.

Di Amerika Serikat, lanjut Rana, berbagai perusahaan penyuplai energi listrik dengan berbagai pilihan bahan bakar, termasuk bahan bakar terbarukan. Pengembang yang memilih energi listrik dari sumber terbarukan akan memperoleh poin terbesar dalam konsep green building.

Pembicara dalam diskusi panel tersebut di antaranya Yandi Andri Yatmo (Ikatan Arsitek Indonesia-Jakarta), Meiko Handoyo (Dewan Pimpinan Daerah Real Estat Indonesia-Jakarta), Simon Molenberg (Director Tourism, Real Estate and Construction Asia Region), dan Stephanus D Satriyo (Asosiasi Manajemen Properti Indonesia).

Di banyak negara, bagi Meiko, penerapan konsep green building terbukti menambah nilai jual. Namun, di Indonesia masih butuh proses edukasi panjang. Di Indonesia bahkan muncul kerancuan bahwa bangunan ramah lingkungan itu mahal, sulit, dan tidak feasible secara bisnis.

“Para pengelola gedung sebagai pengguna energi cukup besar kini memiliki tanggung jawab mengurangi pemanasan global dengan cara-cara menghemat energi, air, bahan bakar, dan sebagainya,” kata Satriyo.

Kegiatan diskusi panel yang difasilitasi PT Colliers International Indonesia dan PT Cisco System Indonesia itu sekaligus untuk mengenalkan acuan green building melalui konsep Leadership in Energy and Environtmental Design (LEED).

Menurut Rana, penerapan konsep LEED pada hakikatnya sebagai upaya pemberian penghargaan atas karya properti ramah lingkungan atau yang memegang konsep green building.

Konsep LEED memperkenalkan 85 poin penilaian yang memiliki peringkat tersertifikasi, silver, gold, dan platinum.

Efisiensi

Menurut Rana, yang juga menjadi Ketua Himpunan Ahli Tata Udara dan Refrigerasi tersebut, penerapan LEED untuk pembangunan properti juga mensyaratkan secara mutlak beberapa hal, seperti efisiensi penggunaan air, penggunaan energi secara minimum, atau upaya perlindungan lapisan ozon.

Sementara itu, menurut Rana, pemilik atau pembangun properti di Indonesia hingga sekarang belum ada yang memiliki sertifikasi LEED.

Beberapa negara, seperti India, China, Dubai, dan Vietnam, juga sudah cukup banyak menerapkan konsep LEED. Sertifikasi LEED pada awalnya dirumuskan Green Building Council Amerika Serikat.

Menurut Yandi, dunia pendidikan dan profesi arsitektur selama ini cenderung melihat arsitektur sebagai bangunan yang berdiri sendiri.

“Kita perlu memperluas pengertian tentang arsitektur ini. Tolok ukur green building membuka kesempatan untuk menempatkan bangunan dalam jaringan yang lebih luas, terkait aspek-aspek iklim, sumber daya alam, sosial, dan budaya,” kata Yandi Andri Yatmo.

Menurut dia, “Pendidikan berperan penting dalam pemahaman tentang sustainability.”

Isu utama menyangkut bangunan ramah lingkungan, kata Yandi, di antaranya adalah membangun hanya yang diperlukan dan tidak menggunakan lebih dari yang diperlukan, menganut prinsip keterkaitan, serta memandang profesi arsitek sebagai “pengurus bumi” (steward of the earth).

Strategi desain yang dapat diterapkan antara lain, tambah Yandi, pemanfaatan material berkelanjutan, keterkaitan dengan ekologi lokal, keterkaitan antara transit dan tempat tinggal, rekreasi dan bekerja, serta efisiensi penggunaan air, penanganan limbah, dan mengedepankan kondisi lokal baik secara fisik maupun secara sosial.

Entry filed under: Berita Lingkungan, Berita Lingkungan Lokal.

Perubahan Iklim Global, Jakarta Bisa Tinggal Nama Daging Ayam Pakai Hormon. Fakta atau Mitos?

37 Komentar Add your own

  • 1. melani  |  29 Agustus, 2007 pukul 09:06

    apakah desain rumah tropis itu jg salah satu desain bangunan ramah lingkungan?

  • 2. Eka  |  29 Agustus, 2007 pukul 16:31

    Desain rumah yang memanfaatkan cahaya matahari dan sirkulasi udara secara optimum akan membantu menghemat penggunaan energi.
    Desain rumah di daerah tropis mestinya selalu memperhatikan hal2 yang berkait dgn pernyataan diatas.

  • 3. yuli  |  18 Oktober, 2007 pukul 10:18

    Yang saya tau panel surya merupakan salah satu teknologi yang dapat diaplikasikan untuk mendukung konsep arsitektur ramah lingkungan ini, tapi katanya teknologi ini masih mahal dan kurang efektif, apakah benar atau mungkin sudah ada produk lokal yang lebih murah namun efisien ?
    THX & Dukung terus Arsitektur Ramah Lingkungan

  • 4. dodolipet  |  18 Oktober, 2007 pukul 23:04

    Yuli, Panel Surya masih tidak kompetitif untuk di Indonesia karena harga PLN yang begitu murah dibandingkan dengan negara lain. Di Amerika pun dengan harga listrik yang mahal masih membutuhkan paling sedikit 15 tahun untuk tingkat pengembalian keuntungan dari memakai panel surya di rumah.

    Memang teknologi panel surya sangat berkembang dan semakin lama sudah semakin murah (walaupun belum semurah memakai PLN)

    Jadi tunggu saja tanggal mainnya, suatu hari panel surya yang murah meriah akan menjadi kenyataan. Saya juga akan mengupdate berita-berita teknologi terbaru dari panel surya dan energi alternatif lainnya.

  • 5. Elisa Sutanudjaja  |  8 November, 2007 pukul 23:10

    Dibandingkan dengan menghemat listrik dengan panel surya, sebetulnya akan lebih baik lagi kalau kita menghemat air. Karena pada umumnya tarif air di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan dengan negara lain. Kita membayar 6 kali lebih mahal daripada Los Angeles.
    Karenanya, sebagai tambahan diatas, desain rumah berkelanjutan (sustainable house) tak hanya memperhatikan iklim pasif maupun aktif, tapi perlu juga memperhatikan hal lain, seperti material bangunan, pengolahan air dan limbah, daerah hijau hingga tata letak ruang (denah)

  • 6. dodolipet  |  9 November, 2007 pukul 10:55

    Terima kasih Elisa untuk informasinya. Saya sangat mendukung komentar dari Elisa dimana air sudah semakin susah jadi kita harus bisa menghemat dan juga mengolah air yang ada terutama seperti air hujan yang dibiarkan masuk ke sungai tanpa meresap ke dalam tanah ataupun diambil untuk kebutuhan lainnya.

  • 7. Abimanyu  |  7 Desember, 2007 pukul 03:22

    klo mau hemat energi….
    1. tinggi bangunan, maks 4 lantai.. lebih dari 4 lantai, bangunan akan makan banyak energi untuk AC, lift, dll…
    2. manfaatkan cahaya matahari dengan optimal… kendalikan arah bukaan… jangan sampai sinar matahari masuk secara langsung kedalam bangunan…
    3. cross ventilation, mutlak dilakukan… ini menghemat pemakaian ac
    4. bentengi bangunan dengan vegetasi… vegetasi mempengaruhi iklim mikro disini…
    5. luaskan permukaan bangunan.. hal ini menjadikan ruang dalam bangunan tetap dingin…
    6. air… ini mempengaruhi iklim mikro juga…
    7. pake material bangunan yang thermal capacity-nya besar…
    8. dan lain-lain….
    semoga bermanfaat…

  • 8. jc  |  10 Desember, 2007 pukul 16:35

    konsep green building mgkn sudah sesuai dengan konsep rumah tradisonal indonesia. Contohnya rumah panggung yang lbh baik untuk sirkulasi udara dan lebih sejuk karna lantai terbuat dari kayu… sehingga dpt mnghemat penggunaan AC dan energi, alangkah baiknya konsep rumah tinggal seperti ini (kl perlu dimodifikasi dgn konsep bangunan terkini ) lebih diutamakan untuk dibangun oleh pengembang… sekedar saran (boleh kan?)

    rgds
    jc

  • 9. dodolipet  |  10 Desember, 2007 pukul 17:59

    JC, thanks untuk sarannya. boleh banget kalau ada saran yang bisa di share dengan teman-teman yang lain. Untuk rumah panggung, kalau dijakarta lahan sudah sempit, dimana dong bikinnya? kalau di kampung sih pasti bisa. hehehe… ada ide untuk rumah panggung di perkotaan?

  • 10. purwito  |  14 Februari, 2008 pukul 13:57

    Saya peneliti bahan bangunan dari Puslitbang Permukiman, dan saya sedang meneliti mengenai bahan bangunan rendah emisi CO2. Beberapa bahan telah saya dapatkan dari studi seorang proffesor dari Korea mengenai kandungan emisi CO2 dari setiap bahan bangunan yang digunakan untuk pembangaun suatu rumah.
    Ada beberapa yang belum saya dapatkan yaitu bahan bangunan finishing atau cat (untuk tembok maupun kayu/metal).
    Saya sangat berharap apabila dapat mendapatkan bantuan informasi mengenai bahan ini.
    Sebelumnya di uacapkan terima kasih.

    Purwito

  • 11. zul  |  8 Maret, 2008 pukul 10:16

    Buat abimanyu,thanks infonya.Membuat pemahaman mengenai konsep green design tentang hemat energi menjadi lebih mudah dipahami.

    Saya pengen nanya, apakah konsep green design bisa diterapkan untuk bangunan kampus…terus aspek mana dalam perancangan kampus yang paling utama harus diperhatikan kaitannya dengan konsep green design tadi??

    Kalo ada yang bisa ngasih masukan saya ucapkan banyak terima kasih.

  • 12. abeyoo  |  12 Maret, 2008 pukul 22:36

    info yang menarik, seharusnya memang kita yang bergerak sebelum bumi hancur. peduli setan dengan PLN dan harga panel surya yang mahal. kalo tidak ada yang berani, maka tidak akan ada kemajuan

  • 14. odistira  |  22 April, 2008 pukul 11:04

    Saya bekerja di bidang keramik lantai dan dinding, mgkn ada saran keramik seperti apa yang bisa mendukun green building, nanti saya buatin :). Dan buat purwito, mgkn bs sharing informasi mengenai kandungan emisi CO2 pada keramik. Thanks

  • 15. Elisa Sutanudjaja  |  27 April, 2008 pukul 16:26

    Perlu diingat juga, bahwa konsep LEED ini tergantung pada geografis suatu kota. Saat ini pun LEED dikritisi oleh kota-kota Amerika, karena terlalu general. Tak mungkin LEED diterapkan bersamaan pada 2 negara bagian yang beda karakteristik, seperti Arizona dan Idaho, misalnya.
    Karenanya setiap saat metode penilaian LEED selalu berevolusi, sesuai dengan parameter yang aktual.

    PS: emisi CO2 pada keramik, hendaknya dihitung tak hanya pada saat pemasangan keramik, namun keseluruhan proses keramik itu, mulai proses pertambangannya, produksi, transportasi, pemasangan hingga proses demolisasi (kita di bidang sustainable development, menyebutnya sebagai life cycle). Semoga hal ini tidak terlalu rumit.

  • 16. ikhsan  |  14 Juni, 2008 pukul 06:20

    Kalau yang di maksud rumah ramah lingkungan d indonesia ini.
    rencana atap harus miring?
    atau tidak?

  • 17. raa  |  12 Agustus, 2008 pukul 11:07

    apa green architecture cm bsa d liat dari penghematan air dan energi, klo d liat dari tampilan bangunan?

  • 18. john  |  29 Agustus, 2008 pukul 17:33

    Kecendrungan mayarakat Indonesia untuk memiliki tempat hunian tanpa memikirkan dampak terhadap lingkungan sekitar, paradikma itulah yang seharusnya kita ubah untuk menuju Arsitektur ramah lingkungan. Sudah saatnya kecendrungan terhadap gaya arsitektur Modern diarahkan menuju Green Arsitektur.

  • 19. max samuel exsaudy p.  |  6 September, 2008 pukul 09:56

    sejauh mana pengembangan arsitektur green di Indonesia pada saat ini? contoh nya yang paling berhasil di daerah mana?
    apakah di Indonesia telah diwajibkan bangunan hemat energi ? jika hanya disarankan saja, pemanasan global akan berjalan terus tidak henti-hentinya.

  • 20. dani darusman  |  24 Oktober, 2008 pukul 18:20

    hmm….. ok juga

  • 21. andrijani  |  25 Oktober, 2008 pukul 19:54

    Paling sedih lihat bangunan2 rumah yang abai menyisakan halaman sebagai lahan resapan. Tetangga baru di depan rumah bikin halaman di-conblock dan cuma menyisakan sepetak kecil. Sudah begitu dibuat miring, sehingga air hujan langsung ke selokan. Memang efektif menjaga halaman bersih, tapi bagaimana bumi menabung air? Mengapa tidak dpikir bahwa anak2nya memerlukan siklus bumi yang berkesinambungan? Dan tipikal manusia kota sekarang: pintu selalu tertutup rapat.

  • 22. peppy  |  3 Februari, 2009 pukul 15:26

    saya ingin baget meneliti ttg rumah rendah emisi CO2. apa iya ada kebijakan pemerintah tentang bangunan hemat energi, klo udah ada apa sudah diaplikasikan ke masyarakat?klo itu belum diterapkan maka pengembangan arsitektur green di Indonesia tinggal konsep aja. bagaimana Anda menanggapinya?
    Dan apa saja bahan bangunan yang rendah emisi CO2 itu.?
    Saya berharap sekali mendapatkan info ini dan sebelumnya saya ucapkan terima kasih.

  • 23. Eka  |  18 Maret, 2009 pukul 17:05

    Ada inovasi baru tentang heating and cooling system. System ini dikembangkan dengan cara meletakkan rangkain pipa dibawah permukaan bumi, baik itu dengan cara menanamkanya di dalam tanah (vertikal atau mendatar), atau ditenggelamkan pada sebuah kolam. ini memanfaatkan geothermal. secara detail mungkin bisa di surf on the internet, “geothermal heating”.
    Di Amerika system ini sudah diimplementasikan. Mungkin ini juga bisa menghemat penggunaan listrik sebesar 70%. Bayangkan saja jika bangunan (hotel) bisa menghemat sebesar 70% hanya untuk Heating&Cooling Systemnya…berapa banyak energi yang bisa di hemat dan ekonomisnya sangat besar,
    Mudah2an bisa berguna.

  • 24. boy brahmawanta sembiring  |  23 April, 2009 pukul 10:36

    berkampanye hijau selalu akan menjadi lawan sifat konsumtif manusia sekarang. yang repotnya di alam bawah sadar kita sudah terkontaminasi iklan untuk kenyaman dan gengsi. bahkan menurut penelitian, seorang yang duduk dibangku pertama kuliah mengenal ribuaan produk iklan tapi susah menyebut 10 nama jenis tumbuhan dari negaranya.
    artinya selama ini masih menjadi budaya maka lawan terberat green adalah kapitalisme. karena green perlu cinta. sedang kapitalis sebaliknya.

  • 25. sofwan.kalipaksi  |  23 April, 2009 pukul 15:54

    thanks for sharing.
    Oh ya baca juga tulisan yang juga membahas tentang green building dan green architecture di sini:

    Indonesia, Negeri Minim Sayembara Arsitektur

  • 26. Fajar  |  23 Juni, 2009 pukul 22:28

    Terima kasih atas info-nya. Saya adalah salah seorang pemerhati masalah tata udara. menurut saya, selama ini yang diperhatikan dalam konsep green building selalu listrik dan air, tetapi belum menyentuh pada kondisi polusi di kota-kota kita. Terutama kondisi kualitas udara dalam ruangan yang kita tinggali lebih dari separuh hari dalam hidup kita. Sebetulnya masalah udara ini termasuk gak sih dalam konsep “green Building” yang lagi heboh2 nya ini?? thank’s atas responnya.

  • 27. syarif  |  24 Juni, 2009 pukul 12:10

    Ada ralat untuk konsep bangunan green building. Luas permukaan dinding luar harusnya yang paling sedikit karena sedikit pula menerima radiasi matahari. Q=k.A.dT. dimana A adalah luas permukaan.
    Thermal capacity bukan besar, harusnya kecil sesuai saran untuk iklim tropis LEMBAB seperti Indonesia. Kalau tropis kering ya gunakan yang berat.

  • 28. siz  |  22 Agustus, 2009 pukul 22:57

    saya ingin bertanya..
    1. contoh-contoh bangunan di indonesia yang green namun modern itu apa saja ya?
    2. Kalau orang sudah banyak tau kalau penggunaan kaca membuat areal ruang dalam panas, tetapi knapa mal-mal yang baru dibangun tetap menggunakan full kaca, saya kurang yakin kalo sang arsitek pembuat bangunan tersebut tidak mengetahui dampak material kaca pada bangunan..
    3. kaca yang tidak lagsung memperoleh sinar matahari akan tetap mengakibatkan rfek rumah kaca atau tidak pada bangunan?

    terima kasih untuk perhatiannya

  • 29. supli effendi rahim  |  11 Desember, 2009 pukul 09:32

    Saya sudah membangun sebuah rumah yang saya namakan “rumah panen hujan” atau “rainfall harvesting house”..lihat http://www.youtube.com/user/suplirahim. Saya sudah jelaskan di http://www.suplirahim.multiply.com. Terima kasih atas postingnya

    http://www.youtube.com/user/suplirahim#p/u/74/28D8GN1glhA

  • 30. karin  |  14 Mei, 2010 pukul 11:13

    Recycling >> menggunakan bahan2 kimia untuk memutar daya guna sesuatu >> worse waste untuk lingkungan…

    sesulit itukah menilai “bangunan hijau”?
    konsep arsitektur tradisional di Indonesia apa masih kurang “hijau”?
    kenapa tidak kembali saja pada konsep2 “purba” itu karena sepertinya kita sudah terlalu jauh berspekulasi dengan kemajuan teknologi dan menganggap kuno konsep-konsep lama tersebut hingga akhirnya mengabaikannya…
    malang sekali leluhur2 kita yang telah dengan penuh perhitungan menerapkan dan mengajarkan anak-cucu-cicitnya mengenai “arsitektur sadar lingkungan”…ckckckck!

  • 31. reni  |  2 Juni, 2010 pukul 18:34

    wah menarik sekali topiknya,

  • 32. iwindenergyindonesia  |  26 Juli, 2010 pukul 16:37

    Saya pribadi support campaign ” GREEN BUILDING “. Ada baiknya kita mulai beralih ke pembangkit listrik alternatif seperti solar panel. Harga solar panel system semakin terjangkau semenjak banyak dikembangkan di Asia. Sudah merupakan tanggung jawab kita untuk lebih ramah lingkungan. Bila ada yang membutuhkan infomasi lebih lanjut ataupun tertarik dengan solar panel system. Perusahaan kami menyediakan ready stock solar panel system untuk berbagai kebutuhan. Mulai dari small home system 50W, 80W, 200W hingga 300W. Dapat digunakan untuk penerangan, mobile charger bahkan menonton TV. Selain itu kami juga menyediakan wind power system and LED energy saving. Berminat please email to iwindenergy.indonesia@gmail.com

  • 34. tukang bangunan  |  25 November, 2010 pukul 15:30

    “green architecture=mahluk asing”=)

    bukankah kita hidup di negara tropis yang sangat kaya dengan unsur-unsur alam???
    Green building yang baik adalah ketika bangunan tersebut bisa lebih merespon & berintegrasi dengan alam…bentuknya seperti apa???saya yakin selama ini para arsitek memahami hal itu…=)
    dan kita sudah berarsitektur hijau sejak nenek moyang kita…yang jadi masalah adalh…kurangnya perhatian kita terhadap nilai-nilai dan kearifan lokal yang telah susah payah di berikan oleh nenek moyang kita…

  • […] Kompas Online (2007). “Green Building untuk Iklim Mikro, Bangunan Ramah Lingkungan Syaratkan Efisiensi”. […]

  • 37. syahrial hasibuan  |  12 Agustus, 2013 pukul 21:09

    Nama saya syahrial hsb, saya salah satu pengajar mata kuliah ekoarsitektur di unri. Saya pernah bekerja di salah satu perusahaan developer yg cukup besar asal jakarta utk pengmbangan perumahan d pekanbaru, waktu itu saya pernah menawarkan desain yg ekologis kpd direktur utama utk meningkatkan konsep perumahan tsb. Yg ternyata desain tersebut d tolak dgn alasan dana tdk ada. D sini saya baru paham, pengembang d inbonesia umumnya hanya mengejar profit yg besar, padahal sumberdaya utk menciptakan rumah yg ekologis dan ramah lingkungan sangat memadai d pekanbaru. Salah satu kalimat yg d icapkan oleh dirut pd saat itu adalah ‘ samuapermasalahan panas bs d atasi dgn AC (pendingin udara). Karena saya dosen, perbedaan ideologi tsb lah yg membuat saya hrs resign dr perusahaan tsb.

    Salam
    Viva arsitektur berkelanjutan

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


Agenda

Archives

RSS Bisnishijau.Org

  • Sebuah galat telah terjadi; umpan tersebut kemungkinan sedang anjlok. Coba lagi nanti.

Kampanye Hijau











Statistik Pengunjung

  • 2.475.014 Pengunjung

Statistik

Enter your email address to subscribe to this blog and receive notifications of new posts by email.

Bergabung dengan 318 pelanggan lain